.

Friday, July 16, 2010

Pentingnya Fantasi Seksual

JAKARTA, KOMPAS.com - "Saya suka berfantasi melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain, bukan suami. Apakah saya normal ?" tanya seorang wanita dalam acara yang membahas tentang seks di sebuah radio swasta.

Tentu saja normal, sedahsyat apa pun fantasi itu menurut anggapan Anda. Fantasi erotis merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh pria maupun wanita.

Riset yang dilakukan Kinsey Institute membuktikan, 84 persen pria dan 67 persen wanita memiliki fantasi seksual. Fantasi merupakan pengalaman mental yang muncul dari imajinasi atau bisa juga karena dirangsang oleh bacaan, lukisan, foto, dan lain-lain. Umumnya orang berfantasi ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan, saat bermasturbasi, atau bahkan ketika sedang tidak melakukan aktivitas seksual.

Membayangkan orang lain Riset lain yang pernah dilakukan Hunt membuktikan bahwa wanita maupun pria sama saja, mereka umumnya berfantasi melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang dicintai.

Namun, berfantasi melakukan hubungan dengan orang lain yang bukan pasangan, bahkan dengan orang tak dikenal, juga terjadi pada wanita maupun pria. Banyak orang juga senang membayangkan berhubungan seks dengan artis atau selebriti yang mereka kagumi.

Tak sedikit orang yang membayangkan berhubungan intim dengan lebih dari satu orang. Seperti cerita seorang wanita dalam acara tengah malam sebuah radio swasta di Jakarta berikut ini. “Saya suka membayangkan berhubungan seks dengan tiga pria sekaligus. Semuanya pria yang tidak saya kenal,” katanya.

Fantasi seksual juga bisa dalam bentuk lain, misalnya membayangkan dipaksa secara kasar untuk berhubungan seks. “Saya kadang membayangkan ada pria yang dengan kasar mendorong dan menjepit saya ke tembok lalu menciumi saya dengan penuh gairah,” ungkap seorang teman.

Ada kalanya orang berfantasi sebaliknya, yaitu memaksa orang lain melakukan hubungan seks, bahkan berfantasi tentang hubungan dengan sesama jenis.

Perlukan pasangan tahu? Yang pasti, banyak orang melibatkan fantasi dalam kehidupan seksual mereka. Mewujudkan fantasi menjadi kenyataan, dapat sangat menyenangkan. Namun, jika fantasi itu bertentangan dengan sistem nilai yang dianut, sebaiknya dipertimbangkan untung ruginya kalau mau diwujudkan.

Apakah kita perlu menceritakan fantasi erotis itu kepada pasangan? Tentu sangat tergantung bagaimana kualitas hubungan Anda. Pasangan yang hubungannya kuat dan membiasakan diri berkomunikasi seks secara terbuka, berbagi fantasi sangat menggairahkan karena dapat mengetahui harapan pasangan.

Namun, jika Anda tak yakin pasangan dapat diajak berbagi fantasi, simpan sendiri saja. Kebanyakan orang memilih memisahkan dunia fantasi dengan kehidupan seksual nyata. Bagaimana dengan Anda?

Fungsinya banyak Fantasi seksual memiliki beberapa fungsi. Dalam buku Our Sexuality karya Crooks & Baur disebutkan antara lain:

1. Menjadi sumber kesenangan. Pikiran erotis menolong dalam fase perangsangan bersama pasangan atau saat bermasturbasi. Membayangkan bagian tubuh tertentu disentuh, sungguh sangat membantu.

2. Menjadi jalan untuk secara mental berlatih atau mengantisipasi pengalaman seks baru. Membayangkan diri berinisiatif mengajak berhubungan intim dapat membuat seseorang lebih siap ketika situasi tersebut dimungkinkan.

3. Menjadi alternatif bagi perilaku seksual yang secara pribadi tidak diterima, dan melakukan penjelajahan erotis melalui imajinasi. Faktanya, aktivitas seksual “terlarang” di dalam fantasi justru lebih menggairahkan. Contoh, membayangkan aktivitas seksual dengan orang lain, bersama dua atau tiga orang, di alam terbuka atau di toilet pesawat terbang, tetapi hanya dalam fantasi.

4. Menjadi pengganti aktivitas seksual. Contohnya, ketika suami atau istri tidak ada, membayangkan pengalaman masa lalu yang sangat mengesankan.

@ Widya Saraswati

Wednesday, July 14, 2010

Cinta yang Menyehatkan

JAKARTA, KOMPAS.com — Cinta cenderung bermakna luar biasa bagi seseorang. Luar biasa indah rasanya menurut mereka yang hidup dalam pelukan cinta, tetapi dapat juga luar biasa menyakitkan bagi mereka yang merasa dikhianati atau dikecewakan oleh cinta. Entah itu terhadap orangtua, anak, lawan jenis (pasangan), dan lainnya, cinta memang luar biasa.

Seorang guru besar Psikologi Klinis dari Fakultas Psikologi UGM yang telah melanglang buana di berbagai penjuru dunia untuk mengajar, Prof Yohana E Prawitasari, dalam sebuah semiloka psikologi mengungkapkan, ”Apa sih sebenarnya yang dibutuhkan oleh setiap orang? Pada dasarnya dalam hidup ini yang diperlukan oleh setiap orang adalah cinta.

Ungkapan di atas mungkin terasa melankolis. Lho, kok, seorang profesor psikologi menyatakan sesuatu yang tidak berbeda dengan para seniman? Ya, memang tidak berbeda dengan para seniman. Secara empiris, psikologi menemukan bahwa untuk dapat sehat secara mental, yang diperlukan seseorang adalah cinta. Lebih dari itu, dengan transendensi, kita dapat menemukan kebenaran universal bahwa memang kita ini hidup dari cinta, hidup oleh cinta, dan juga untuk cinta.

Viktor Frankl, seorang psikiatris yang riwayat dan karyanya luar biasa mengagumkan, dalam bukunya Man’s Search for Meaning berkata: “Suatu pemikiran mengubah saya: Untuk pertama kali dalam hidup, saya menyadari kebenaran dalam syair kebanyakan penyair, kebijaksanaan akhir para ahli pikir. Kebenaran bahwa cinta adalah tujuan utama dan tertinggi yang dapat dicapai manusia. Lalu, saya menangkap makna rahasia terbesar yang melingkar dalam syair, dalam pikiran dan keyakinan manusia, yaitu penyelamatan manusia diperoleh lewat cinta dan di dalam cinta.”

Seorang psikolog lain, Meninger, menulis: ”Cinta itu menyembuhkan. Cinta menyembuhkan mereka yang memberikan cinta, dan juga mereka yang menerimanya.”

Berikut ini kita belajar mengenai cinta yang menyembuhkan, cinta yang sehat, yang diungkapkan oleh para ahli psikologi pada masa lampau.


Cinta tak bersyarat

Dalam mencinta, yang terjadi adalah: cinta bersyarat atau cinta tak bersyarat. ”Tidak ada kemungkinan ketiga!” kata John Powell, konselor dan penasihat spiritual.

Bila untuk mencintai kita memerlukan syarat, maka cinta itu bukan cinta sejati. Cinta sejati adalah harus dan merupakan hadiah yang diberikan secara cuma-cuma.

Kita benar-benar cinta bila orang yang kita cintai mendapatkan cinta kita, bukan karena ia pantas menerima cinta kita. Disebut pantas karena cantik, anggun, ganteng, baik hati, dan sebagainya. Kita sadar bahwa orang yang kita cintai bukanlah orang yang terbaik, bukan orang yang paling hebat, bukan yang paling cocok.

Namun, itu semua tidak menjadi persoalan. Yang penting adalah bahwa kita telah memilih untuk memberikan kepada orang yang kita cintai berupa cinta kita, dan juga telah memilih untuk mencintai kita. Dalam kondisi inilah cinta dapat tumbuh dengan baik.

Erich Fromm, psikolog yang terkenal dengan bukunya, The Art of Loving, menulis tentang cinta tak bersyarat. Menurut Fromm, cinta tak bersyarat berhubungan langsung dengan kerinduan yang paling dalam, bukan hanya kerinduan pada anak, melainkan kepada setiap manusia.

Sebaliknya, orang yang dicintai karena alasan pantas atau dianggap berhak menerima cinta selalu menimbulkan keraguan: mungkin saya tak dapat membahagiakan orang yang saya inginkan dapat mencintai saya atau mungkin selalu ada rasa cemas, jangan-jangan suatu waktu cinta akan lenyap.

Selain itu, cinta yang didapat karena alasan pantas menerimanya selalu meninggalkan rasa getir dalam kesan bahwa orang dicintai bukan karena dirinya, melainkan karena kemampuannya membuat orang lain senang. Ini bukan cinta, melainkan manipulasi!

Seperti binatang sirkus John Powell menegaskan bagaimana cinta tak bersyarat mendukung perkembangan pribadi. Cinta yang banyak terjadi adalah cinta yang membelenggu. Tanpa sadar, banyak orangtua memperlakukan anak seperti binatang sirkus, yang dihukum atau diupah agar berperilaku persis seperti yang diinginkan tuannya.

Demikian pula suami terhadap istri atau sebaliknya. Cinta seperti ini berisiko menimbulkan luka batin dan bersifat merusak (destruktif). Powell mengungkapkan sebagai berikut:

Kita telah lama menganggap bahwa koreksi, kritik, dan hukuman dapat mendorong perkembangan dan pertumbuhan. Kita terbiasa membenarkan cara-cara destruktif untuk menutupi ketidakbahagiaan dan ketidaklengkapan kita. Contohnya, penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini mengungkapkan bahwa 80 persen narapidana di negeri ini menerima perlakuan keras dan kejam ketika masa kecil.

Baru akhir-akhir inilah ilmu perilaku mengungkapkan bahwa cinta tak bersyarat merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan orang mengembangkan kepribadian yang manusiawi.

Kehendak bebas merupakan salah satu faktor dalam hidup manusia. Setiap orang harus menyatakan ”ya” untuk pertumbuhan dan integritas pribadinya, tetapi ada prasyarat: harus ada orang yang mendorong kita untuk percaya pada diri sendiri dan menjadi diri sendiri. Ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar mencintai kita.

Kalau kita bicara tentang cinta tak bersyarat, kita akan teringat orangtua yang bersikap manipulatif. Ada orangtua yang hanya memberikan kasih sayang dan penguatan kepada anak bila keinginannya terpenuhi: bila nilai rapor bagus, patuh, dapat menimbulkan rasa bangga orangtua, dan lainnya. Kita juga teringat bahwa banyak hubungan suami atau istri seperti demikian.

Begitulah yang sering terjadi. Hubungan suami-istri atau orangtua-anak tak lebih dari saling tukar: yang satu menjual, yang lain membayar; bukan lagi cinta tak bersyarat.

Kita sering kali tidak menghiraukan cinta tak bersyarat yang mendasar. Orang yang kita manipulasi kita beri hadiah tertentu karena telah memenuhi keinginan kita. Kita meletakkan kepada mereka identitas pribadi yang kita pilihkan. Kita letakkan mereka di sudut sempit dalam kehidupan ini dengan hanya membolehkan mereka menjadi seperti yang kita inginkan. Padahal, cinta tak bersyarat bersifat membebaskan. @

M.M Nilam Widyarini M.Si Kandidat Doktor Psikologi