.

Wednesday, August 20, 2014

Begini Cara Menara Big Ben London Dibersihkan


Para ahli abseiled membersihkan jam menara Parlemen Big Ben, London, Inggris, 18 Agustus 2014. Pemerintah setempat menyewa jasa ahli pembersih bangunan sebagai bentuk perawatan terhadap ikon kota London tersebut. Menara Big Ben terakhir dibersihkan pada 2010. (dailymail)


Para ahli abseiled bersihkan permukaan jam WS menara Big Ben, London, Inggris, 18 Agustus 2014. Para ahli bekerja dengan hati-hati karena resiko terjatuh dari ketinggian 95 meter sangat mungkin. (dailymail)

Ahli Abseiled semprotkan formula pembersih kotoran yang menempel di permukaan jam WS menara Big Ben, London, Inggris, 18 Agustus 2014. (dailymail)

Para pembersih terlihat dari kejauhan sedang bersihkan menara Big Ben, London, Inggris, 18 Agustus 2014. (dailymail)

Pemandangan menara Parlemen Big Ben dan sekitarnya di London, Inggris, 18 Agustus 2014. (dailymail) 

Source


Tuesday, August 19, 2014

Kuliner Tionghoa di Nusantara

CAP go meh, hari kelimabelas Imlek, dirayakan warga Tionghoa dengan menggelar keramaian, lengkap dengan pernak-pernik khas dan sajian kulinernya.

Di masa lalu, saat perayaan cap go meh di Jakarta, terlebih bagi pemuda yang hendak melamar gadis pujaannya, maka ada syaratnya. “Cialat atau cilaka dua belas bagi mantu yang datang sowan tanpa membawa sepasang bandeng,” tulis Alwi Shahab dalam Robih Hood Betawi. “Calon mantu yang begini tidak punya liangsim atau rasa malu.”

Makanan bagi warga Tionghoa adalah utama, termasuk bagi mereka yang merantau ke Nusantara. Usaha membuat makanan yang serupa dengan daerah asalnya terkendala karena beberapa bahan tidak ditemui di daerah ini. Akhirnya, mereka berkreasi.

Menurut Joseph “Aji” Chen, wakil koordinator Dewan Pakar Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina), para perantau yang pergi ke negeri selatan beradaptasi dengan bahan makanan yang ada, bahkan memunculkan kreasi baru.

“Para pendatang membuat tahu, kembang tahu, mie, bihun, soun, tauco, kecap seraya memanfaatkan bahan-bahan setempat,” tulis Helen Ishwara dalam Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya.

Gabungan teknik dan penyesuaian bahan menciptakan beragam kuliner baru yang sebelumnya tak pernah ada. Lontong cap go meh salah satunya. Lontong ini, kata Joseph, menggantikan sajian resmi di negeri asal yaitu ronde atau yuanxiao. Potongan lontong yang bundar melambangkan bulan purnama dan warna putih simbol kebersihan hati. Pembuatan lontong diilhami dari cara memasak bacang.

Ketika lontong cap go meh disajkan, terdapat menu ayam opor dengan kuah santan kuning atau putih. “Kuliner peranakan tidak dapat menghindari pemakaian santan. Karakteristiknya yang machtig (rich and tasty) memberikan kekhasan luar biasa dalam sajian yang menggunakannya sehingga sering diistilahkan dengan signature dish,” ujar Joseph.

Sebenarnya, kata Joseph, masakan Tiongkok murni tidak memiliki rasa yang kaya, rumit, dan kompleks karena lebih menekankan citarasa asli. “Misalnya sawi masih terasa seperti sawi, ayam masih seperti ayam rebus yang belum ‘tercemari’ hiruk-pikuk bumbu.”

Laporan utama sejarah Tionghoa Jejak Naga di Nusantara, majalah Historia nomor 10 tahun 1, 2012.

OLEH: ARYONO

Source 

Thursday, August 14, 2014

Meteor di Tengah Pertempuran

Patung Mithridates VI (kiri) dan Lucius Licinius Lucullus (kanan).









KERAJAAN Roma berkembang pesat dan terus meluaskan kekuasaan politiknya ke wilayah Timur melalui Asia Kecil. Beberapa kerajaan merdeka di wilayah tersebut melawan. Salah satunya Kerajaan Pontus.
Berpusat di Sinope, dekat Laut Hitam, Pontus adalah kerajaan hellenistik (bercorak budaya campuran Persia-Yunani) yang berdiri tahun 281 SM. Pontus mencapai puncak keemasaannya pada masa kekuasaan Raja Mithridates VI. Dia mempunyai agenda politik yang anti terhadap segala hal berbau Romawi.
Peperangan pun terjadi. Sejarah mencatat, terjadi tiga kali perang Pontus-Roma: Perang Mithridatic I (88-84 SM), Mithridatic II (83-81 SM), dan Mithridatic III (75-63 SM).
Perang Mithridatic III dipicu oleh kegagalan Mithridates VI menjatuhkan Raja Nicomedes IV dari Bithynia, kerajaan hellenistik di pesisir Laut Hitam yang dikendalikan Roma. Kegagalan ini membuat Roma ikut campur, bahkan berupaya menjatuhkan Mithridates VI sekaligus menjadikan Pontus yang kaya sebagai provinsinya. Lucius Licinius Lucullus, seorang politisi, memimpin pasukan Roma dalam Perang Mithridatic III.
Pada suatu waktu antara tahun 74-70 SM, Lucullus bermaksud melakukan serangan mendadak ke Pontus ketika Mithridates VI sedang pergi dengan pasukannya. Namun dia justru dikejutkan oleh kemunculan pasukan Pontus yang dipimpin Mithridates VI. Kedua pasukan pun bersiap perang di Otroea, dekat Danau Iznik di Turki modern.
“Ketika kedua pasukan sedang bersiap-siap untuk bertempur, tiba-tiba langit terbelah dan di antara kedua pasukan tampaknya telah jatuh sebuah meteor besar yang terbakar, bentuknya menyerupai sebuah tong berwarna perak yang panas,” ujar Plutarch, sejarawan Yunani, seperti dikutip James Ussher dkk dalam The Annals of the World, Volume 1.
Kedua pasukan terkejut dan memilih lari meninggalkan medan perang. Mereka menafsirkan fenomena alam ini sebagai pertanda buruk dari dewa mereka masing-masing.
“Adalah benar jika orang-orang Roma pada masa itu takut dengan komet, bintang jatuh, dan meteor,” tulis Adrienne Mayor dalam The Poison King: The Life and Legend of Mithradates, Rome’s Deadliest Enemy.
Sejarawan modern kerap melupakan peristiwa itu. Namun Richard Stothers, seorang peneliti NASA yang ahli dalam mengobservasi peristiwa-peristiwa astronomi di masa kuno, memiliki sedikit penjelasan mengenai jenis meteor yang jatuh tersebut.
“Karena ada ribuan saksi yang melihat dari jarak dekat, Stothers meyakini laporan dari Plutarch otentik. Munculnya cahaya yang amat menyilaukan di siang hari itu mengindikasikan besarnya dampak getaran yang dihasilkan meteor ini. Stothers mengestimasi ukuran lingkar objek tersebut lebih dari 4 kaki (121 cm),” tulis Adrienne.
Perang antara Lucullus dan Mithridates VI batal karena peristiwa ini. Dan nasib buruk pun menimpa mereka setelahnya.
Karena dianggap tak kompeten, Lucullus dicopot dari jabatannya sebagai pemimpin pasukan. Dia digantikan Pompey, jenderal Roma yang kemudian menaklukkan Pontus dan mengakhiri Perang Mithridiatic III. Mithridates VI memilih bunuh diri daripada tertangkap pasukan Roma.

OLEH: RAHADIAN RUNDJAN

Source: here 

Wednesday, August 13, 2014

Kopi yang Mengubah Eropa

Revolusi bermula di kedai-kedai kopi.












SEJAK Baba Budan, seorang jamaah haji asal Mysore, India, menyelundupkan tujuh biji bibit kopi dari Jazirah Arab ke kampungnya di India pada abad ke-15, penyebaran kopi ke seluruh dunia tinggal menunggu waktu. Benua biru, Eropa, menjadi wilayah selanjutnya yang diinvasi bebijian pahit ini. Namun, hingga abad ke-17, pengetahuan “orang-orang Barat’ perihal kopi boleh dibilang minim.

Kronik sekira tahun 1600, yang berisi sekelompok pemuka gereja mendatangi Paus Clement VIII untuk memintanya memfatwa haram kopi, menggambarkan betapa asingnya mereka terhadap kopi. Catatan Sir George Sandys, penyair asal Inggris, pada 1610 masih menunjukkan hal yang sama. Dia menulis, orang-orang Turki bisa ngobrol hampir sepanjang hari sambil menyeruput minuman yang digambarkan sebagai “sehitam jelaga, dan rasanya tak biasa”. Sandys juga mengatakan bahwa minuman ini, “sebagaimana mereka (orang-orang Turki) bilang, membuat plong pencernaan dan menyegarkan tubuh.”









Baru pada 1615 orang-orang Eropa secara formal berkenalan dengan kopi. Saat itu para pedagang dari Venezia, Italia, membawa pulang kopi dari daerah Levant, yang kini dikenal sebagai area Timur Tengah, meliputi Israel, Yordania, Libanon, dan Syiria. Setahun kemudian, sebagaimana ditulis pemilik situs gallacoffee.co.uk, James Grierson, dalam  artikel “History of Coffee: Part III - Colonisation of Coffee”, giliran orang Belanda yang membawa kopi dari daerah Adan, Yaman, lalu membudidayakannya, dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) hingga ke Nusantara. Belanda akhirnya memetik hasil. Mereka memonopoli industri kopi dunia, bahkan bisa menentukan harga. Puncaknya, pada 1700-an, kopi produksi Jawa bersaing dengan kopi asal Mocha,Yaman, sebagai produk kopi paling populer di dunia.

Awalnya orang-orang Eropa memperlakukan kopi sebagai bahan medis yang memberikan efek positif buat tubuh. Harganya mahal. Umumnya dikonsumsi masyarakat kelas atas. Pada 1650-an, ketika penjaja minuman lemon di Italia mengikutsertakan kopi sebagai barang jualannya, sementara kedai-kedai kopi di Inggris bermunculan, minuman ini mulai menemukan dimensi sosialnya; dikonsumsi sembari berbincang-bincang.

Saat kopi mulai menyebar ke negara-negara besar Eropa, cerita lama berulang kembali. Muncul pihak-pihak yang menentangnya. Menurut Linda Civitello dalam Cuisine and Culture: A History of Food and People, pada 1679, dokter-dokter dari Prancis membuat catatan buruk tentang kopi. Dikatakannya, “...dengan penuh kengerian bahwa kopi membuat orang tak lagi doyan wine.” Serangan ini disusul oleh seorang dokter muda yang menganggap kopi bisa mengakibatkan keletihan, menimbulkan hal-hal buruk pada otak manusia, menggerogoti fungsi tubuh, serta biang keladi impotensi.
Pihak yang membela pun segera bersuara. Seorang dokter, juga asal Prancis, Philippe Sylvestre Dufour, menerbitkan buku yang menilai positif minuman eksotik ini. Lalu pada 1696, seorang dokter Prancis juga mengatakan kopi baik untuk tubuh dan menyegarkan kulit. Namun, sebagaimana akan kita lihat nanti, oposisi terhadap kopi tak berhenti sampai di sini.

Ketika mulai menemukan dimensi sosialnya, kopi tak lagi sekadar minuman yang rutin dikonsumsi, tapi juga terlibat dalam banyak perubahan sosial-politik di Eropa. Linda Civitello mengatakan, untuk kali pertama orang (Eropa) memiliki alasan untuk berkumpul di ruang publik tanpa melibatkan alkohol. Kegiatan ini pun berkembang menjadi rutinitas sosial yang bersifat politis. Sebagaimana ditulis situs The Economist pada 7 Juli 2011, “Back to the coffee house”, pada era tersebut konsep media massa belum lagi dikenal. Berita tersebar dari mulut-ke mulut di kedai-kedai kopi, melalui proses dialogis. 












Para penguasa yang deg-degan, karena khawatir hal-hal politik dibincangkan orang di kedai-kedai kopi, mulai ambil kuda-kuda. Kekhawatiran itu tak berlebihan. Sejarawan Prancis, Michelet, dikutip Mark Pendergrast dalam Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed Our World, menggambarkan penemuan kopi sebagai revolusi yang menguntungkan dan mampu memunculkan kebiasaan-kebiasaan baru, bahkan memodifikasi temperamen manusia. Ide-ide yang beredar dalam diskusi di kedai-kedai kopi pada akhirnya terakumulasi dalam peristiwa Revolusi Prancis.













Di Jerman, popularitas kopi mengganggu penguasanya, Frederick the Great. Pada 1777, dia mengeluarkan manifesto yang mendukung minuman tradisional Jerman, bir: “Menjijikkan melihat meningkatnya kuantitas kopi yang dikonsumsi rakyatku, dan implikasinya, jumlah uang yang keluar dari negara kita. Rakyatku harus minum bir. Sejak nenek moyang, kemuliaan kita dibesarkan oleh bir.” Hal serupa sempat terjadi di Prancis ketika kopi mulai menyaingi wine. Sementara di Inggris, King George II memusuhi kopi lantaran orang-orang yang berkumpul di kedai-kedai kopi kerap mengolok-olok dirinya.


Namun tak ada perlawanan paling keras terhadap eksistensi kedai kopi di London ketimbang Women’s Petition tahun 1674, yang memrotes terbuangnya waktu para lelaki di kedai kopi, serta tak memungkinkannya perempuan berkunjung ke kedai kopi, sebagaimana di Prancis. Lalu, pada 29 Desember 1675 Raja Inggris Charles II mengeluarkan pernyataan tentang Pelarangan Kedai Kopi, dengan alasan membuat orang mengabaikan tanggungjawab sosial serta mengganggu stabilitas kerajaan. Suara-suara protes pun bermunculan di London. Klimaksnya, dua hari sebelum aturan itu berlaku, raja mengundurkan diri. 
 











Di bagian lain Eropa, yakni Wina, Austria, perkenalan negeri ini dengan kopi seperti mengulang kisah klasik yang pernah terjadi di tempat lain. Juli 1683, pasukan Turki yang dipukul mundur meninggalkan beragam barang, termasuk lima ratus karung besar berisi kacang aneh, yang dianggap para tentara sebagai makanan unta. Karena ternyata unta-unta tak doyan, mereka lemparkanratusan karung tersebut ke api. Kolschitzky, seorang tentara yang pernah tinggal di Jazira Arab, terbangun oleh aroma kopi terbakar tersebut. 

“Demi Maria Yang Suci!” teriak Kolschitzky. “Yang kalian bakar itu kopi! Kalau kalian tak tahu gunanya, berikan padaku.” Makan dengan bekal tersebut ia membuka kedai kopi yang termasuk generasi awal di Wina. Beberapa dekade kemudian, kopi mewarnai kehidupan intelektual di kota tersebut. 

Namun gambaran kedai kopi tak melulu didominasi catatan positif. Begitu terbukanya tempat-tempat seperti ini membuat orang dari berbagai latar belakang kelas sosial dan karakter, bertemu bersamaan. Karenanya, seperti digambarkan sebuah catatatan yang dikutip Mark Pendergrast, di kedai kopi orang membaca, mengobrol; lalu-lalang orang, para perokok, dan beragam aroma bercampur jadi satu, tak ubahnya kabin tongkang.
Negara-negara lain di Eropa mulai mengenal kopi sekitar periode yang sama. Sementara negara-negara Skandinavia, yang paling buncit berkenalan dengan kopi, sebagaimana data tahun 2002 yang tertera di nationmaster.com, kini malah menjadi wilayah yang konsumsi kopi perkapitanya tertinggi di dunia.

OLEH: AHMAD MAKKI/KONTRIBUTOR

Source: here 

Sejarah Tahu










Tahu adalah kuliner tertua yang diperkenalkan orang Tionghoa di Nusantara. Ia menjadi penyelamat masyarakat Jawa di masa krisis asupan gizi.


ORANG-orang Tionghoa datang ke Nusantara dengan membawa keterampilan kulinernya. Salah satu makanan yang paling awal diperkenalkan adalah tahu.
Sejarawan JJ Rizal mengungkapkan bahwa pada abad ke-10 orang-orang Tionghoa telah menyajikan tahu di Nusantara, meskipun terbatas di kalangan elite. “Jadi tahu lebih tua daripada tempe dilihat dari masa mulai produksinya,” kata Rizal. (Baca: Sejarah Tempe)
Menurut Suryatini N. Ganie dalam Dapur Naga di Indonesia, tahu mempunyai sejarah panjang di Tiongkok, tempat asalnya sejak 3.000 tahun lalu. Teknologi pembuatan tahu secara cepat menyebar ke Jepang, Korea, dan Asia Tenggara. Tetapi, kapan tahu mulai hadir di Nusantara tidak dapat ditentukan waktunya dengan tepat. Namun, orang Kediri mengklaim sebagai kota pertama di Nusantara yang mengenal tahu, yang dibawa tentara Kubilai Khan pada tahun 1292.
“Saat mengunjungi Kediri,” tulis Suryatini, “kami mendapati tempat berlabuhnya jung-jung Mongol di kota itu sampai hari ini masih disebut dengan Jung Biru. Armada ini mempunyai jung-jung khusus untuk mengurus makanan tentara, termasuk satu yang khusus untuk menyimpan kacang kedelai dan membuat tahu.”
Kata tahu sendiri, menurut Hieronymus Budi Santoso, berasal dari bahasa Tionghoa, yakni: tao-hu atau teu-hu. Suku kata tao/teu berarti kacang kedelai, sedangkan hu berarti hancur menjadi bubur.
“Dengan demikian secara harfiah, tahu adalah makanan yang bahan bakunya kedelai yang dihancurkan menjadi bubur,” tulis Hieronymus dalam Teknologi Tepat Guna Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai.
Pada abad ke-19, orang-orang Jawa dilanda krisis gizi yang luar biasa akibat penerapan sistem cultuurstelsel (Tanam Paksa). Hasil bumi dikuras untuk kepentingan kolonial sampai mereka sendiri kesulitan untuk makan. Saat itulah tahu muncul sebagai pangan alternatif.
“Menurut sejarawan Onghokham,” ungkap Rizal, “tahu bersama tempe, menjadi penyelamat orang-orang Jawa dari masa krisis asupan gizi.” (Baca: Sejarah Tempe)
Sampai sekarang, tahu menjadi makanan penting bagi orang Indonesia. Cara penyajiannnya di tiap wilayah pun bervariasi. Meski begitu, ia tetap menjadi pangan yang populer dan dapat dinikmati kapan saja.

OLEH: RAHADIAN RUNDJAN

Source: here 

Sejarah Tempe

MENELUSURI sejarah tempe tak bisa lepas dari bahan bakunya, kedelai. Menurut pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, Mary Astuti dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia, kata kedelai yang ditulis kadêlê dalam bahasa Jawa ditemukan dalam Serat Sri Tanjung (abad ke-12 atau 13). Selain dalam serat legenda kota Banyuwangi itu, kata kedelai juga dijumpai dalam Serat Centhini, yang ditulis oleh juru tulis keraton Surakarta, R Ng Ronggo Sutrasno pada 1814.
Pada jilid kedua Serat Centhini digambarkan perjalanan Cebolang dari Purbalingga menuju Mataram, kemudian singgah di rumah Ki Amongtrustha, yang menjamu makan malam dengan lauk bubuk dhele. Di Mataram, Cebolang diberitahu bahwa sesaji dalam kacar-kucur, yakni upacara persiapan menikahkan anak, terdapat kacang kawak (lama) dan kedelai kawak, beras kuning, bunga, dan uang logam.
Menurut naturalis Jerman, Rumphius, tanaman kedelai (de cadelie plant) dalam bahasa latin disebut phaseolus niger, kadêlê (Jawa), zwartee boontjes (Belanda), dan authau (Tiongkok). Hasil amatan Rumphius, orang Tionghoa tidak mengolah kedelai menjadi tempe. Tapi, mengolah biji kedelai hitam tersebut menjadi tepung, sebagai bahan tahu, dan laxa atau tautsjian, mie berbentuk pipih. Karena kacang dalam bahasa Tiongkok disebut duo (tao)/to, produk olahannya dinamai dengan awalan tau: tauchu (taoco), tau-hu (tahu), touya (toge), touzi (tauci), dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian genetik, kedelai berasal dari Tiongkok, meski tidak ada keterangan apakah jenisnya kedelai hitam atau kuning. Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam “Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia,” Kompas, 1 Januari 2000, kacang kedelai sudah sejak 5.000 tahun lalu dikenal di Tiongkok.
Namun, Mary Astuti mempertanyakannya: jika berasal dari Tiongkok mengapa kedelai tidak pernah disebutkan dalam jenis-jenis komoditas yang diperdagangkan di Jawa. Musafir Tiongkok, Ma Huan yang mengunjungi Majapahit sekira abad ke-13, mencatat bahwa di Majapahit terdapat koro podang berwarna kuning, tanpa menjelaskan kegunaan kacang tersebut. Dia tidak membandikan kacang itu dengan kacang yang ada di negerinya, seperti halnya membandingkan suhu udara di Majapahit dengan di Tiongkok. Ini menunjukkan, kacang yang ditemui Ma Huan belum ada di negerinya.
“Diduga bahwa kedelai hitam sudah ditanam di Jawa sebelum China datang ke Tanah Jawa,” tulis Astuti. “Menurut anggapan orang Jawa zaman dulu kata dêlê berarti hitam. Ada kemungkinan kedelai hitam sudah ada di tanah Jawa sebelum orang Hindu datang dan kemungkinan dibawa orang Tamil.”
Penemuan tempe berhubungan erat dengan produksi tahu di Jawa, karena keduanya dibuat dari kacang kedelai. Tahu sendiri dibawa oleh orang Tiongkok ke Jawa, yang mungkin sudah ada sejak abad ke-l7. “Bukan hanya bahannya yang sama, akan tetapi mungkin juga secara langsung penemuan tempe berkaitan dengan produksi tahu,” tulis Ong.
“Tempe muncul dari kedelai buangan pabrik tahu yang kemudian dihinggapi kapang. Kemudian jadi tempe kedelai,” kata wartawan spesialis sejarah pangan, Andreas Maryoto. “Ini saya kaitkan karena tempe yang lain berasal dari limbah: tempe gembus dari limbah kacang, tempe bongkrek dari limbah kelapa. Bila kemudian tempe kedelai dari kedelai bukan limbah, mungkin itu upgrade saja,” sambungnya.
Ong kemudian mengaitkan perkembangan tempe dengan kepadatan penduduk, baik di Tiongkok maupun di Jawa. Kepadatan penduduk sejak berabad-abad telah mempengaruhi seni masak Tiongkok. Akibat kepadatan penduduk terjadi persaingan ruang antara manusia dan hewan yang memerlukan ladang-ladang rumput luas bagi hidupnya. Akibatnya, seni masak Tiongkok berkisar pada hewan peliharaan rumah seperti babi, ayam, bebek, dan sebagainya.
Keadaan itu tidak jauh berbeda dengan Jawa. Pekarangan menyediakan bahan baku makanan seperti ayam, kambing, sayur-sayuran, pohon kelapa, dan lain-lain. “Baru dalam abad ke-l9, menu hewani akhirnya berubah menjadi tempe. Ini akibat kenaikan jumlah penduduk yang amat tinggi pada abad ke-19, sehingga Pulau Jawa menjadi wilayah pertama yang sangat padat di Asia Tenggara,” tulis Ong.
Di sisi lain, lanjut Ong, meluasnya perkebunan kolonial membuat wilayah hutan menciut dan  membuat para petani sebagai kulinya, mengurangi berburu, beternak maupun memancing. Dampaknya, menu makanan orang Jawa yang tanpa daging. Tanam paksa makin membuat bahan makanan seperti tempe menjadi sangat vital sebagai penyelamat kesehatan penduduk.
“Bisa dikatakan,” tulis Ong, “penemuan tempe adalah sumbangan Jawa pada seni masak dunia. Sayangnya, seperti halnya banyak penemuan makanan sebelum zaman paten, maka penemu tempe pun anonim,” lanjutnya.
Ditilik dari muasal katanya, menurut Astuti, tempe bukan berasal dari bahasa Tiongkok, tapi bahasa Jawa kuno, yakni tumpi, makanan berwarna putih yang dibuat dari tepung sagu, dan tempe berwarna putih. Kata tempe juga ditemukan dalam Serat Centhini jilid ketiga, yang menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang, mampir di dusun Tembayat wilayah Kabupaten Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempeasem sambel lethokan …” sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut.  Pada jilid 12 kedelai dan tempe disebut bersamaan: “…kadhele tempe srundengan…
“Tempe berasal dari kata Nusantara tape, yang mengandung arti fermentasi, dan wadah besar tempat produk fermentasi disebut tempayan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia.
Menurut Ong, dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indie (l922), tempe disebut sebagai “kue” yang terbuat dari kacang kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan (volk’s voedsel).
Disebut makanan kerakyatan, kata Maryoto, karena tempe diciptakan oleh rakyat, bukan istana. “Karena itu, muncul istilah ‘bangsa tempe’, sebagai bentuk stigmatisasi dari kalangan priyayi,” ujar Maryoto. “Sekarang tempe tidak lagi sebagai makanan rakyat,” Maryoto menambahkan. “Pamor tempe semakin terangkat ketika gairah kuliner meningkat, sehingga tempe manjadi makanan kita semua.”
(Historia - Hendri F. Isnaeni)

Source: here