CAP go meh, hari kelimabelas Imlek, 
dirayakan warga Tionghoa dengan menggelar keramaian, lengkap dengan 
pernak-pernik khas dan sajian kulinernya.
Di masa lalu, saat perayaan cap go meh 
di Jakarta, terlebih bagi pemuda yang hendak melamar gadis pujaannya, 
maka ada syaratnya. “Cialat atau cilaka dua belas bagi mantu yang datang sowan tanpa membawa sepasang bandeng,” tulis Alwi Shahab dalam Robih Hood Betawi. “Calon mantu yang begini tidak punya liangsim atau rasa malu.”
Makanan bagi warga 
Tionghoa adalah utama, termasuk bagi mereka yang merantau ke Nusantara. 
Usaha membuat makanan yang serupa dengan daerah asalnya terkendala 
karena beberapa bahan tidak ditemui di daerah ini. Akhirnya, mereka 
berkreasi.
Menurut Joseph “Aji” 
Chen, wakil koordinator Dewan Pakar Asosiasi Peranakan Tionghoa 
Indonesia (Aspertina), para perantau yang pergi ke negeri selatan 
beradaptasi dengan bahan makanan yang ada, bahkan memunculkan kreasi 
baru.
“Para pendatang membuat
 tahu, kembang tahu, mie, bihun, soun, tauco, kecap seraya memanfaatkan 
bahan-bahan setempat,” tulis Helen Ishwara dalam Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya.
Gabungan teknik dan penyesuaian bahan 
menciptakan beragam kuliner baru yang sebelumnya tak pernah ada. Lontong
 cap go meh salah satunya. Lontong ini, kata Joseph, menggantikan sajian
 resmi di negeri asal yaitu ronde atau yuanxiao. Potongan 
lontong yang bundar melambangkan bulan purnama dan warna putih simbol 
kebersihan hati. Pembuatan lontong diilhami dari cara memasak bacang.
Ketika lontong cap go meh disajkan, 
terdapat menu ayam opor dengan kuah santan kuning atau putih. “Kuliner 
peranakan tidak dapat menghindari pemakaian santan. Karakteristiknya 
yang machtig (rich and tasty) memberikan kekhasan luar biasa dalam sajian yang menggunakannya sehingga sering diistilahkan dengan signature dish,” ujar Joseph.
Sebenarnya, kata Joseph, masakan 
Tiongkok murni tidak memiliki rasa yang kaya, rumit, dan kompleks karena
 lebih menekankan citarasa asli. “Misalnya sawi masih terasa seperti 
sawi, ayam masih seperti ayam rebus yang belum ‘tercemari’ hiruk-pikuk 
bumbu.”
OLEH: ARYONO
Source
 

 
 
 
 
 
No comments:
Post a Comment