SEJAK Baba Budan, seorang jamaah haji asal Mysore, India, menyelundupkan tujuh biji bibit kopi dari Jazirah Arab ke kampungnya di India pada abad ke-15, penyebaran kopi ke seluruh dunia tinggal menunggu waktu. Benua biru, Eropa, menjadi wilayah selanjutnya yang diinvasi bebijian pahit ini. Namun, hingga abad ke-17, pengetahuan “orang-orang Barat’ perihal kopi boleh dibilang minim.
Kronik sekira tahun 1600, yang berisi
sekelompok pemuka gereja mendatangi Paus Clement VIII untuk memintanya
memfatwa haram kopi, menggambarkan betapa asingnya mereka terhadap kopi.
Catatan Sir George Sandys, penyair asal Inggris, pada 1610 masih
menunjukkan hal yang sama. Dia menulis, orang-orang Turki bisa ngobrol
hampir sepanjang hari sambil menyeruput minuman yang digambarkan sebagai
“sehitam jelaga, dan rasanya tak biasa”. Sandys juga mengatakan bahwa
minuman ini, “sebagaimana mereka (orang-orang Turki) bilang, membuat plong pencernaan dan menyegarkan tubuh.”
Baru pada 1615 orang-orang Eropa secara formal berkenalan dengan kopi. Saat itu para pedagang dari Venezia, Italia, membawa pulang kopi dari daerah Levant, yang kini dikenal sebagai area Timur Tengah, meliputi Israel, Yordania, Libanon, dan Syiria. Setahun kemudian, sebagaimana ditulis pemilik situs gallacoffee.co.uk, James Grierson, dalam artikel “History of Coffee: Part III - Colonisation of Coffee”, giliran orang Belanda yang membawa kopi dari daerah Adan, Yaman, lalu membudidayakannya, dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) hingga ke Nusantara. Belanda akhirnya memetik hasil. Mereka memonopoli industri kopi dunia, bahkan bisa menentukan harga. Puncaknya, pada 1700-an, kopi produksi Jawa bersaing dengan kopi asal Mocha,Yaman, sebagai produk kopi paling populer di dunia.
Awalnya orang-orang Eropa memperlakukan
kopi sebagai bahan medis yang memberikan efek positif buat tubuh.
Harganya mahal. Umumnya dikonsumsi masyarakat kelas atas. Pada 1650-an,
ketika penjaja minuman lemon di Italia mengikutsertakan kopi sebagai
barang jualannya, sementara kedai-kedai kopi di Inggris bermunculan,
minuman ini mulai menemukan dimensi sosialnya; dikonsumsi sembari
berbincang-bincang.
Saat kopi mulai menyebar ke
negara-negara besar Eropa, cerita lama berulang kembali. Muncul
pihak-pihak yang menentangnya. Menurut Linda Civitello dalam Cuisine and Culture: A History of Food and People,
pada 1679, dokter-dokter dari Prancis membuat catatan buruk tentang
kopi. Dikatakannya, “...dengan penuh kengerian bahwa kopi membuat orang
tak lagi doyan wine.” Serangan ini disusul oleh seorang dokter
muda yang menganggap kopi bisa mengakibatkan keletihan, menimbulkan
hal-hal buruk pada otak manusia, menggerogoti fungsi tubuh, serta biang
keladi impotensi.
Pihak yang membela pun segera bersuara.
Seorang dokter, juga asal Prancis, Philippe Sylvestre Dufour,
menerbitkan buku yang menilai positif minuman eksotik ini. Lalu pada
1696, seorang dokter Prancis juga mengatakan kopi baik untuk tubuh dan
menyegarkan kulit. Namun, sebagaimana akan kita lihat nanti, oposisi
terhadap kopi tak berhenti sampai di sini.
Ketika mulai menemukan dimensi
sosialnya, kopi tak lagi sekadar minuman yang rutin dikonsumsi, tapi
juga terlibat dalam banyak perubahan sosial-politik di Eropa. Linda
Civitello mengatakan, untuk kali pertama orang (Eropa) memiliki alasan
untuk berkumpul di ruang publik tanpa melibatkan alkohol. Kegiatan ini
pun berkembang menjadi rutinitas sosial yang bersifat politis.
Sebagaimana ditulis situs The Economist pada 7 Juli 2011, “Back
to the coffee house”, pada era tersebut konsep media massa belum lagi
dikenal. Berita tersebar dari mulut-ke mulut di kedai-kedai kopi,
melalui proses dialogis.
Para penguasa yang deg-degan, karena khawatir hal-hal politik dibincangkan orang di kedai-kedai kopi, mulai ambil kuda-kuda. Kekhawatiran itu tak berlebihan. Sejarawan Prancis, Michelet, dikutip Mark Pendergrast dalam Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed Our World, menggambarkan penemuan kopi sebagai revolusi yang menguntungkan dan mampu memunculkan kebiasaan-kebiasaan baru, bahkan memodifikasi temperamen manusia. Ide-ide yang beredar dalam diskusi di kedai-kedai kopi pada akhirnya terakumulasi dalam peristiwa Revolusi Prancis.
Di Jerman, popularitas kopi mengganggu penguasanya, Frederick the Great. Pada 1777, dia mengeluarkan manifesto yang mendukung minuman tradisional Jerman, bir: “Menjijikkan melihat meningkatnya kuantitas kopi yang dikonsumsi rakyatku, dan implikasinya, jumlah uang yang keluar dari negara kita. Rakyatku harus minum bir. Sejak nenek moyang, kemuliaan kita dibesarkan oleh bir.” Hal serupa sempat terjadi di Prancis ketika kopi mulai menyaingi wine. Sementara di Inggris, King George II memusuhi kopi lantaran orang-orang yang berkumpul di kedai-kedai kopi kerap mengolok-olok dirinya.
Namun tak ada perlawanan paling keras terhadap eksistensi kedai kopi di London ketimbang Women’s Petition
tahun 1674, yang memrotes terbuangnya waktu para lelaki di kedai kopi,
serta tak memungkinkannya perempuan berkunjung ke kedai kopi,
sebagaimana di Prancis. Lalu, pada 29 Desember 1675 Raja Inggris Charles
II mengeluarkan pernyataan tentang Pelarangan Kedai Kopi, dengan alasan
membuat orang mengabaikan tanggungjawab sosial serta mengganggu
stabilitas kerajaan. Suara-suara protes pun bermunculan di London.
Klimaksnya, dua hari sebelum aturan itu berlaku, raja mengundurkan diri.
Di bagian lain Eropa, yakni Wina, Austria, perkenalan negeri ini dengan kopi seperti mengulang kisah klasik yang pernah terjadi di tempat lain. Juli 1683, pasukan Turki yang dipukul mundur meninggalkan beragam barang, termasuk lima ratus karung besar berisi kacang aneh, yang dianggap para tentara sebagai makanan unta. Karena ternyata unta-unta tak doyan, mereka lemparkanratusan karung tersebut ke api. Kolschitzky, seorang tentara yang pernah tinggal di Jazira Arab, terbangun oleh aroma kopi terbakar tersebut.
“Demi Maria Yang Suci!” teriak
Kolschitzky. “Yang kalian bakar itu kopi! Kalau kalian tak tahu gunanya,
berikan padaku.” Makan dengan bekal tersebut ia membuka kedai kopi yang
termasuk generasi awal di Wina. Beberapa dekade kemudian, kopi mewarnai
kehidupan intelektual di kota tersebut.
Namun gambaran kedai kopi tak melulu
didominasi catatan positif. Begitu terbukanya tempat-tempat seperti ini
membuat orang dari berbagai latar belakang kelas sosial dan karakter,
bertemu bersamaan. Karenanya, seperti digambarkan sebuah catatatan yang
dikutip Mark Pendergrast, di kedai kopi orang membaca, mengobrol;
lalu-lalang orang, para perokok, dan beragam aroma bercampur jadi satu,
tak ubahnya kabin tongkang.
Negara-negara lain di Eropa mulai
mengenal kopi sekitar periode yang sama. Sementara negara-negara
Skandinavia, yang paling buncit berkenalan dengan kopi, sebagaimana data
tahun 2002 yang tertera di nationmaster.com, kini malah menjadi wilayah yang konsumsi kopi perkapitanya tertinggi di dunia.OLEH: AHMAD MAKKI/KONTRIBUTOR
Source: here
No comments:
Post a Comment