MENELUSURI sejarah tempe tak bisa lepas
dari bahan bakunya, kedelai. Menurut pakar tempe dari Universitas Gajah
Mada, Mary Astuti dalam
Bunga Rampai Tempe Indonesia, kata kedelai yang ditulis
kadêlê
dalam bahasa Jawa ditemukan dalam Serat Sri Tanjung (abad ke-12 atau
13). Selain dalam serat legenda kota Banyuwangi itu, kata kedelai juga
dijumpai dalam
Serat Centhini, yang ditulis oleh juru tulis keraton Surakarta, R Ng Ronggo Sutrasno pada 1814.
Pada jilid kedua Serat Centhini
digambarkan perjalanan Cebolang dari Purbalingga menuju Mataram,
kemudian singgah di rumah Ki Amongtrustha, yang menjamu makan malam
dengan lauk bubuk dhele. Di Mataram, Cebolang diberitahu bahwa
sesaji dalam kacar-kucur, yakni upacara persiapan menikahkan anak,
terdapat kacang kawak (lama) dan kedelai kawak, beras kuning, bunga, dan
uang logam.
Menurut naturalis Jerman, Rumphius, tanaman kedelai (de cadelie plant) dalam bahasa latin disebut phaseolus niger, kadêlê (Jawa), zwartee boontjes (Belanda), dan authau
(Tiongkok). Hasil amatan Rumphius, orang Tionghoa tidak mengolah
kedelai menjadi tempe. Tapi, mengolah biji kedelai hitam tersebut
menjadi tepung, sebagai bahan tahu, dan laxa atau tautsjian, mie berbentuk pipih. Karena kacang dalam bahasa Tiongkok disebut duo (tao)/to, produk olahannya dinamai dengan awalan tau: tauchu (taoco), tau-hu (tahu), touya (toge), touzi (tauci), dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian genetik, kedelai
berasal dari Tiongkok, meski tidak ada keterangan apakah jenisnya
kedelai hitam atau kuning. Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam “Tempe
Sumbangan Jawa untuk Dunia,” Kompas, 1 Januari 2000, kacang kedelai sudah sejak 5.000 tahun lalu dikenal di Tiongkok.
Namun, Mary Astuti mempertanyakannya:
jika berasal dari Tiongkok mengapa kedelai tidak pernah disebutkan dalam
jenis-jenis komoditas yang diperdagangkan di Jawa. Musafir Tiongkok, Ma
Huan yang mengunjungi Majapahit sekira abad ke-13, mencatat bahwa di
Majapahit terdapat koro podang berwarna kuning, tanpa menjelaskan
kegunaan kacang tersebut. Dia tidak membandikan kacang itu dengan kacang
yang ada di negerinya, seperti halnya membandingkan suhu udara di
Majapahit dengan di Tiongkok. Ini menunjukkan, kacang yang ditemui Ma
Huan belum ada di negerinya.
“Diduga bahwa kedelai hitam sudah ditanam
di Jawa sebelum China datang ke Tanah Jawa,” tulis Astuti. “Menurut
anggapan orang Jawa zaman dulu kata dêlê berarti hitam. Ada
kemungkinan kedelai hitam sudah ada di tanah Jawa sebelum orang Hindu
datang dan kemungkinan dibawa orang Tamil.”
Penemuan tempe berhubungan erat dengan
produksi tahu di Jawa, karena keduanya dibuat dari kacang kedelai. Tahu
sendiri dibawa oleh orang Tiongkok ke Jawa, yang mungkin sudah ada sejak
abad ke-l7. “Bukan hanya bahannya yang sama, akan tetapi mungkin juga
secara langsung penemuan tempe berkaitan dengan produksi tahu,” tulis
Ong.
“Tempe muncul dari kedelai buangan pabrik
tahu yang kemudian dihinggapi kapang. Kemudian jadi tempe kedelai,”
kata wartawan spesialis sejarah pangan, Andreas Maryoto. “Ini saya
kaitkan karena tempe yang lain berasal dari limbah: tempe gembus dari
limbah kacang, tempe bongkrek dari limbah kelapa. Bila kemudian tempe
kedelai dari kedelai bukan limbah, mungkin itu upgrade saja,” sambungnya.
Ong kemudian mengaitkan perkembangan
tempe dengan kepadatan penduduk, baik di Tiongkok maupun di Jawa.
Kepadatan penduduk sejak berabad-abad telah mempengaruhi seni masak
Tiongkok. Akibat kepadatan penduduk terjadi persaingan ruang antara
manusia dan hewan yang memerlukan ladang-ladang rumput luas bagi
hidupnya. Akibatnya, seni masak Tiongkok berkisar pada hewan peliharaan
rumah seperti babi, ayam, bebek, dan sebagainya.
Keadaan itu tidak jauh berbeda dengan
Jawa. Pekarangan menyediakan bahan baku makanan seperti ayam, kambing,
sayur-sayuran, pohon kelapa, dan lain-lain. “Baru dalam abad ke-l9, menu
hewani akhirnya berubah menjadi tempe. Ini akibat kenaikan jumlah
penduduk yang amat tinggi pada abad ke-19, sehingga Pulau Jawa menjadi
wilayah pertama yang sangat padat di Asia Tenggara,” tulis Ong.
Di sisi lain, lanjut Ong, meluasnya
perkebunan kolonial membuat wilayah hutan menciut dan membuat para
petani sebagai kulinya, mengurangi berburu, beternak maupun memancing.
Dampaknya, menu makanan orang Jawa yang tanpa daging. Tanam paksa makin
membuat bahan makanan seperti tempe menjadi sangat vital sebagai
penyelamat kesehatan penduduk.
“Bisa dikatakan,” tulis Ong, “penemuan
tempe adalah sumbangan Jawa pada seni masak dunia. Sayangnya, seperti
halnya banyak penemuan makanan sebelum zaman paten, maka penemu tempe
pun anonim,” lanjutnya.
Ditilik dari muasal katanya, menurut Astuti, tempe bukan berasal dari bahasa Tiongkok, tapi bahasa Jawa kuno, yakni tumpi, makanan
berwarna putih yang dibuat dari tepung sagu, dan tempe berwarna putih.
Kata tempe juga ditemukan dalam Serat Centhini jilid ketiga, yang
menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang,
mampir di dusun Tembayat wilayah Kabupaten Klaten dan dijamu makan siang
oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempe … asem sambel lethokan
…” sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe yang telah mengalami
fermentasi lanjut. Pada jilid 12 kedelai dan tempe disebut bersamaan:
“…kadhele tempe srundengan…”
“Tempe berasal dari kata Nusantara tape, yang mengandung arti fermentasi, dan wadah besar tempat produk fermentasi disebut tempayan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia.
Menurut Ong, dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indie (l922), tempe disebut sebagai “kue” yang terbuat dari kacang kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan (volk’s voedsel).
Disebut makanan kerakyatan, kata Maryoto,
karena tempe diciptakan oleh rakyat, bukan istana. “Karena itu, muncul
istilah ‘bangsa tempe’, sebagai bentuk stigmatisasi dari kalangan
priyayi,” ujar Maryoto. “Sekarang tempe tidak lagi sebagai makanan
rakyat,” Maryoto menambahkan. “Pamor tempe semakin terangkat ketika
gairah kuliner meningkat, sehingga tempe manjadi makanan kita semua.”
(Historia - Hendri F. Isnaeni)
Source: here