|  | 
| Indonesia Calling: Joris Ivens in Australia (Australia) a film by John Hughes |  | 
 
“Dalam
 KTN, Indonesia bukannya memilih India, negara korban imperialisme atau 
negara-negara Arab. Indonesia malahan memilih Australia sebagai wakilnya
 untuk menyuarakan kemerdekaan. Mengapa?”
 
4 Mei lalu dalam merayakan Hari Pendidikan Nasional, Konsulate Jenderal Republik Indonesia Sydney mengadakan panel diskusi mengenai “Peranan Australia dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.” 
 
Selain
 diskusi bersama para pakar sejarah dari beberapa Universitas di Sydney,
 publik juga berkesempatan untuk menonton sebuah film berjudul: Indonesia Calling 1946.
 Film dokumenter buatan sutradara Belanda, Jory Ivens ini mengungkapkan 
dukungan Australia terhadap Indonesia dalam mendeklarasikan kedaulatan 
Republik yang masih muda kala itu.
 
Adapun
 diskusi dan pemutaran film ini membuka wawasan publik Indonesia atas 
dukungan Australia yang terlupakan selama ini. Selain itu beberapa 
“missing puzzle” yang selama ini ada dalam pelajaran sejarah kemerdekaan
 kini ditemukan membuat semuanya masuk akal.
 
Meski merdeka tahun 1945, Indonesia bagaimanapun harus mengakui bahwa proklamasi terjadi berkat faktor “vacuum of power” di Jakarta karena Jepang mulai kehilangan kekuatan perangnya di wilayah Asia Pasifik. Ujian sesungguhnya bagi republik muda tersebut muncul ketika Perang Dunia II usai.
 
Kala itu Belanda (NICA) kembali ke Indonesia dengan kekuatan militer yang sudah mulai pulih pasca perang. Aksi polisional atau dikenal sebagai agresi militer Belanda nyaris menghabiskan sebagian besar teritorial Republik. 
 
Saat
 itulah ada dua negara yang berperan penting membawa kasus tersebut 
kepada PBB dan menekan Belanda untuk menghentikan agresi militernya. 
Yang pertama adalah India dan kedua adalah Australia. Keterlibatan India
 mungkin dapat dimaklumi mengingat kesamaan nasib sebagai korban 
imperialisme. 
 
Namun
 alasan mengapa Australia ikut bersimpati menentang Belanda nyaris tidak
 pernah dibahas. Ketika PBB membentuk Komisi Tiga Negara untuk meredam 
konflik. Kedua negara yang berseteru diminta memilih perwakilannya. 
Belanda memilih Belgia, negara tetangga-nya dan Indonesia secara 
mengejutkan justru memilih Australia. Bangsa yang berbeda ras dan justru
 merupakan sekutu dekat Belanda dalam Perang Dunia II.
|  | 
| Cuplikan film Indonesia Calling | 
Bagaimana Awalnya Hubungan Australia-Indonesia Terjadi?
 
Kembali
 ke masa invasi pendudukan Jepang. Belanda mengalami kekalahan berat dan
 melarikan diri ke Australia. Dibawa pula saat itu ribuan rakyat 
Indonesia yang bekerja pada administrasi Belanda. Kebanyakan dari mereka
 berprofesi sebagai pelaut.
 
Ada
 2 kategori pelaut yang bekerja pada Belanda saat itu. Yang pertama 
adalah perwira kapal yang kebanyakan adalah orang Manado dan Kristen. 
Mereka kaum terpelajar, dapat berbahasa Inggris dan Belanda, serta melek
 informasi dan kondisi politik saat itu serta gaji layaknya orang Eropa.
 Yang kedua adalah buruh kapal yang kebanyakan orang Jawa dan Muslim. 
Mereka buta huruf, hanya mampu berbahasa lokal dan bekerja di lingkungan
 yang buruk. Gajinya pun sangat minim.
 
Tak
 lama para pelaut tersebut berhubungan kontak dengan Australian Seamen’s
 Union in Sydney. Asosiasi tersebut terkejut melihat diskriminasi yang 
terjadi. Mereka memberitahu para pelaut Indonesia bahwa mereka sekarang 
bekerja di Australia, dihormati hak-haknya sebagai pekerja serta 
memiliki hak untuk protes.
 
Sekitar
 2000 pelaut lalu mengadakan unjuk rasa di Sydney. Belanda balik 
menyerang dan menyebut para pelaut tersebut sebagai pengkhianat. Mereka 
lalu sempat dikirim ke penjara. Namun pada akhirnya, para pelaut 
tersebut berhasil dilepas dan bekerja dalam kondisi yang jauh lebih 
baik.
 
Perlakuan
 Union yang memperhatikan hak-hak kaum pekerja bisa dikatakan suatu hal 
baru bagi rakyat Indonesia saat itu yang selama ratusan tahun terbiasa 
oleh design sistem hierarki yang diterapkan Belanda. Namun hubungan baik
 antara Union Australia dan pelaut Indonesia ini barulah sebuah awal.
 
Ketika
 Jepang melemah dan meninggalkan Indonesia, Belanda menggunakan 
kesempatan ini untuk kembali. Di pelabuhan-pelabuhan Sydney dan 
Melbourne, kapal-kapal Belanda memuat berbagai amunisi dan senjata 
perang yang siap dikirim untuk menggempur Indonesia.
 
Beberapa
 tahanan pengasingan dari Digoel yang dibawa ke Australia memainkan 
peranan penting dalam membangun koneksi dengan Union. Mereka melapor 
pada Queensland Trades and Labor Council dan selanjutnya diteruskan pada
 Waterside Workers Federation. 
 
Bersimpati
 dengan perjuangan Indonesia, WWF pun bertindak. Aksi mogok bongkar muat
 pun diadakan secara nasional, terutama Brisbane, Sydney dan Melbourne. 
Tak lama, perserikatan pelaut lainnya turut serta. Dalam satu minggu, 
peristiwa yang dikenal dengan nama “Black Ban” menjalar bahkan hingga Selandia Baru dan Singapura. Kejadian ini terekam dalam film dokumenter Indonesia Calling.
 
Sang
 sutradara Joris Ivens adalah seorang warga Belanda dan pendukung 
komuninesme. Suatu ironi mengingat kebangsaannya adalah lambang 
imperialisme terhadap Indonesia dan faham komunismenya kelak menjadi 
sesuatu yang terlarang di Indonesia. Namun diplomasi filmnyalah yang 
membuka mata dunia akan eksistensi NKRI.
 
Kejadian
 ini masuk dalam headline news koran-koran Australia dan publik Aussie 
pun tahu mengenai perjuangan Indonesia. Sementara itu, Belanda 
pontang-panting karena bantuan militernya terhambat. Namun di sisi lain,
 ini artinya setiap pelaut Indonesia yang bekerja untuk Belanda kini 
tidak tergaji dan tidak punya tempat akomodasi.
 
Rapat
 publik pun diadakan dan acara amal dibuat untuk membantu para pelaut 
Indonesia. Berbagai perserikatan pekerja di Australia membantu para 
pelaut yang putus kerja dalam mencari tempat tinggal. Mereka dapat 
tinggal di hostel dan beberapa disediakan ranjang di Brisbane Trade 
Hall, dimana black ban pertama dicetuskan.
 
Ketika
 mata Australia tertuju pada aksi pelaut Indonesia, kesempatan ini tidak
 disia-siakan oleh CENKIM (Central Komite Indonesia Merdeka), organisasi
 yang didirikan di Australia oleh para tokoh politik yang pernah 
diasingkan Belanda ke Digul. Tanpa kesulitan mereka mengadakan aksi 
turun ke jalan besar-besaran di Melbourne sembari berteriak “Long Live 
The Republic of Indonesia.”
 
Ini
 tentu sebuah pernyataan yang radikal, terutama diserukan di negara 
sekutu Belanda. Namun di mata Australia, mereka melihat orang Indonesia 
sebagai sahabat yang turut serta berperang melawan musuh yang sama: 
Jepang serta membutuhkan bantuan untuk pulang ke negara asalnya. Banyak 
tentara Australia juga ikut turun ke jalan sebagai tanda mendukung 
kemerdekaan Indonesia.
 
Australia
 semakin dekat dengan Indonesia. Pada bulan Juni 1947, Usman 
Sastromijoyo terbang ke Australia. Meski belum official saat itu, ia 
telah dipercaya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Australia. Pada akhir
 Juli, seorang anggota CENKIM, Mohammad Bondan mendengar berita di radio
 bagaimana Belanda melanggar perjanjian Linggar Jati dan melakukan 
agresi militer. Bersama istrinya, Molly, wanita Australia yang 
bersimpati dengan perjuangan Indonesia, mereka menulis ulang berita 
tersebut dalam bahasa Inggris dan memberikannya pada pers Australia.
 
Dengan
 cepat berita tersebar dan pemerintah Australia membawa kasus tersebut 
kepada PBB. Agresi berhasil dihentikan dan gencat senjata diadakan. 
Komisi Tiga Negara dibuat dan Indonesia memilih Australia sebagai 
wakilnya. Australia mengirim Justice Kirby dan Thomas Critchley. 
Critchley di kemudian hari menjadi salah satu sahabat baik Wakil 
Presiden Mohammad Hatta.
 
Hubungan
 Belanda dan Australia semakin renggang. Sebelumnya Australia sempat 
marah pada Belanda, ketika sekutunya tersebut membawa para tahanan 
politik Digul dan membohongi Australia bahwa mereka adalah tawanan 
perang pro-Jepang. Para tahanan akhirnya dilepas dan pemerintah 
Australia memberikan mereka kebebasan untuk mencari kerja. 
 
Kebebasan
 ini pulalah yang dimanfaatkan untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia 
melalui CENKIM. Ketika Indonesia meraih kedaulatan pada tahun 1950, 
Australia menjadi salah satu negara barat pertama yang menjadi sahabat 
dekat Indonesia. 
*As Seen on OZindo Magazine June Issue 2013